Header Ads

Masyaallah! Ini Bukti, Ternyata Ada Jejak Indonesia di Masjidil Aqsha

ilustrasi


*Pesan Luhur dari Mimbar Shalahuddin*

"Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai akal. (Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman". [Quran Surat Yusuf : 111]

Sejarah adalah pelajaran  penghidup jiwa berakal, menuntunnya menemukan kebenaran, kejelasan, penunjuk jalan untuk meraih curahan rahmatNya.

Karenanya adalah penting mengenal runutan tanggal, rangkaian peristiwa dan deretan tokoh pelakunya agar penggalan sebuah cerita menemukan keutuhannya. Merangkai sebuah pelajaran kehidupan, mencatatkan jejak bagi pewaris setiap nilai kebaikan yang ingin diabadikan.

Adalah mimbar Nuruddin Zanki (lebih dikenal dengan Mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi) yang berhasil diboyong Shalahuddin Al-Ayyubi ke dalam masjid Al-Aqsha setelah 20 tahun menanti terbebas dari cengkeraman kaum Salibis, sebagai awal cerita sebuah asa. Asa untuk mengembalikan Masjid Al-Aqsha dan tanah penuh berkah di sekelilingnya ke pangkuan kaum muslimin setelah ternista dalam cengkeraman kaum salibis. Mimbar yang menambah kemegahan Al-Aqsha, menjadi saksi pembakar jiwa umat dengan kobaran khutbah para ulama di atasnya.

Bukan sekedar seni bernilai tinggi, rangkaian kurang lebih 16.300 potongan kayu Mangour (kayu hitam), berhias gading dan mutiara berukir lafadz ayat Al-Quran yang disusun tanpa perekat atau skrup ini dimaksudkan  Nuruddin Zanki sebagai simbol umat dalam kekuatan jalinan, tolong menolong dan keterpaduan tanpa tekanan dari sesuatu yang asing.

Namun pada 21 Agustus 1969, Dennis Michael Rohan (seorang Zionis Kristen berkebangsaan Australia) membakar Masjid Al-Qibly (tempat berdirinya mimbar) di komplek Masjid Al-Aqsha dan menghanguskan seperempat bagian masjid sekaligus mimbar Shalahuddin.

Selalu ada cara Allah jika menghendaki kebaikan. Atas prakarsa Raja Abdullah II bin Husein dari Yordania, duplikat mimbar diupayakan untuk dibuat semirip mungkin dengan mimbar aslinya. Meskipun butuh lebih dari puluhan tahun,  kerja keras dan keterlibatan para ahli yang terpilih dari empat negara (Indonesia, Yordania, Mesir dan Turki). Sebuah pesan tegas ditujukan untuk penjajah Zionis bahwa umat Islam tidak akan membiarkan Al-Aqsha ternoda dan akan selalu menjaganya.

Sepenggal Indonesia di Masjid Al Aqsha

 
*Indonesia Dan Mimbar Shalahuddin*

Lalu bagian dari kehendakNya terjadi. Abdul Muthalib, lelaki asal Jepara -kemudian mengajak empat orang Indonesia lainnya- yang tinggal jauh dari Al-Aqsha, terpilih diantara ahli ukir mancanegara lainnya. Ia bersama keempat warga Jepara lainnya menjadi bagian dalam proyek mulia membuat duplikat mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi.

Seperti ada dorongan dalam diri Abdul Muthalib untuk rajin bersilaturahim dengan Mahmud Bukhori dari kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menjadi penghubung tim pembuat duplikat mimbar Shalahuddin dari Kerajaan Yordania. Butuh waktu panjang hingga akhirnya Abdul Mutholib, Sarmudi dan Zainal Arifin (dua saudara kandungnya) serta kerabat dekatnya Ali Rodhi dan Mustafid Dinul Azis, bisa terlibat dalam proyek replikasi mimbar Shalahuddin Al-Ayyubi. Kelimanya adalah warga Desa Tegal Sambi, kecamatan Tahunan kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Mereka berangkat ke Yordania untuk memulai proyek mulia membangun duplikat mimbar Shalahuddin bersama tim dari Turki dan Aljazair.

Mimbar asli dibuat memakan waktu dua tahun sementara duplikatnya butuh waktu empat tahun (2003-2007) dan 10 hari pemasangan di Masjid Al-Aqsha serta  beberapa waktu lagi untuk pengecekan ulang agar tak ada kesalahan pada detail ayat Al-Quran yang tertulis di dalamnya.

Memboyong potongan-potongan mimbar dari Yordania dengan bungkus anti api agar tak kembali terbakar ternyata bukan hal mudah. Setiap keping ukiran sejak di Yordan sudah diawasi tentara Israel. Dengan alasan keamanan, mereka memotret satu persatu kepingan ukiran sebelum diangkut ke Al-Aqsha dan hal yang sama mereka lakukan lagi di perbatasan Yordania-Israel, membuka bungkusan kepingan ukiran untuk dicocokan dengan gambar yang diambil di Yordania. Sungguh prosedur keamanan yang berlebihan dan merepotkan.



Di perbatasan, rombongan diinterogasi tentara zionis, termasuk Abdul Mutholib dan Sarmudi yang mewakili  Indonesia untuk pemasangan langsung di Masjid Al-Aqsha. Namun entah kekuatan dari mana sehingga Abdul Mutholib memiliki keberanian menghadapi tentara zionis yang mencoba mempersulit.

Duhai apa salah umat ini dengan keinginannya kembali membangun mimbar kebanggaan yang telah kalian bakar,  wahai kaum terlaknat.

Meski sudah bertahun-tahun berlalu, para pengukir yang membanggakan ini masih menyimpan contoh kepingan ukiran, gading gajah sebagai bagian dari ornamen mimbar, pola ukiran, foto-foto yang tampak memudar, serta perlatan ukir sebagai saksi terbangunnya kembali duplikat mimbar nan megah tersebut.
Sejarah yang akan terus menjadi kebanggan.

*Apresiasi Adara Relief Internasional*

Pertengahan Ramadhan 1438 H berkat bantuan tokoh masyarakat Jepara  yang menjadi ketua Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Jepara yang juga mencintai perjuangan membebaskan Al-Aqsha, Pramono Aristiyanto,  menjadi momen penting bagi Adara Relief Internasional. Pramono yang juga ketua Federasi Triathlon Indonesia cabang Jepara inilah yang membantu Adara menelusuri dan menemukan para pengukir mimbar Shalahuddin ini dan membersamai Adara selama lawatan di Jepara.



Ketua lembaga yang peduli anak dan perempuan Palestina, Nurjanah Hulwani, S.Ag, ME beserta 11 pengurus lainnya menyambangi kediaman tokoh bersahaja yang nyaris tak dikenal di negerinya sendiri ini. Rasa bangga dan haru meliputi segenap hati ketika Allah  mempertemukan tim Adara dengan tokoh dibalik berdirinya kembali mimbar Shalahuddin.  Melihat detail ukiran cantik karya tangan anak bangsa dan menyentuh potongan kayu mimbar  bercampur dengan rasa heran, kemana pemerintah Indonesia sementara anak bangsanya menorehkan  catatan sejarah yang begitu penting lewat keahlian langka berlevel mancanegara. Tak ada apresiasi sedikitpun yang mereka terima dari pemerintah. "Panjenengan" dari Adara adalah masyarakat Indonesia yang baru mengapresiasi kerja seni ini ketika pertanyaan apresiasi ditujukan kepada mereka.

Pribadi bersahaja dan sabar serta tutur kata halus khas pria Jawa dari para pelaku sejarah ini,  ternyata menyimpan cerita beratnya tugas proyek menghadirkan kembali mimbar legendaris tersebut. Bahkan Abdul Mutholib menuturkan, jika dirinya kadang sampai seringkali ingin muntah karena rumitnya mengukir bentuk bunga-bunga kecil pada potongan kayu yang hanya berukuran sekitar 15 x 15 cm, terlebih dikerjakan hingga empat  tahun lamanya. Tidak cukup sekedar bakat hebat namun juga butuh kesabaran dan keuletan.

Perjuangan warga Jepara ini tentunya juga membutuhkan dukungan keluarga. Tidak semua anggota tim bisa memboyong keluarga. Saat proyek berlangsung Abdul Mutholib hanya berkesempatan bertemu istri dan anaknya satu tahun sekali. Sang istri tak bisa menyusul ke Yordania karena kondisi orang tua yang perlu dirawat.

Sungguh disayangkan jika semua ini luput dari catatan sejarah bangsa Indonesia. Karena anak cucu kita butuh kebanggan dari leluhurnya sebagaimana kita bangga dengan torehan leluhur kita. Kebanggan memiliki anak bangsa berbakat dunia dan kebanggaan akan kontribusi berarti bagi perjuangan pembebasan Al-Aqsha.

Perjalanan Adara Relief Internasional menyambangi Bapak Abdul Mutholib dan tim semoga menjadi inspirasi yang akan dicatat dalam sejarah keterpaduan umat merebut kembali Al-Aqsha ke pangkuan  Islam.

Asa Nuruddin Zanki kiranya telah menularkan semangat kami para pencinta Al-Aqsha dari Indonesia untuk memastikan _ma’iduna indal mimbar_ titik bertemu kita umat muslim Indonesia adalah di Mimbar Sholahuddin kelak setelah Al-Aqsha terbebas.


Jepara, 13 Juni 2017
(Bannasari/Kabid Kajian Adara Relief International)
sumber: ummionline
Kabarkabari.id

No comments