Header Ads

Bisakah Rujuk Sekalipun Istri Tak Bersedia?

ilustrasi



Assalamu’alaikum

Ummi, sejak menikah tiga tahun lalu, suami saya sudah tujuh kali keluar masuk kerja karena dipecat maupun mengundurkan diri. Saya nyaris tidak pernah diberi uang nafkah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, saya menjual mas kawin dan berutang sana sini. Kami sering bertengkar karena masalah ini. Akhirnya demi kesehatan psikologis anak kami satu-satunya, saya meminta talak 1. Suami memberikan talak secara lisan dan tertulis dengan syarat ia akan menghubungi saya kembali dan meminta rujuk.

Ummi,  benarkah kata “rujuk” bisa mengembalikan pernikahan, meski saya tidak mau? Suami juga punya utang ke keluarga saya, dosakah saya jika mendesaknya membayar meski sudah jatuh talak? Haruskah saya gugat cerai ke pengadilan agar saya bisa benar-benar berpisah? Berdosakah saya melakukan ini sebelum ia mengatakan niatnya rujuk?

Wassalamu’alaikum

Wanda, Lampung

Wa’alaikumussalam



Jawaban Syariah


Ibu Wanda yang dirahmati Allah swt, suami yang sudah menalak istrinya, baik talak satu ataupun dua, apabila masih dalam masa iddah (tiga kali suci atau tiga bulan) bisa rujuk kembali tanpa akad nikah baru, walau saat itu istri tidak ridha. Ini disebut talak raj’iy. Jika iddah telah selesai, maka disebut talak ba-in (talak yang tidak bisa kembali rujuk), dan jika suami ingin rujuk, harus ada akad nikah baru, sebagaimana termuat dalam QS Al-Baqarah ayat 228: “Wanita wanita yang ditalak hendakah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ ( masa iddah). Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu (masa iddah), jika mereka (para suami) menghendaki ishlah.”

Terkait utang suami kepada keluarga Ibu, sebaiknya Ibu husnuzan akan niat suami untuk melunasi utangnya. Selain itu, ada baiknya utang ke keluarga Ibu diakhirkan membayarnya karena utang ke orang lain lebih berat risikonya. Namun demikian, meski sudah jatuh talak, Ibu berhak menagih utang tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan utangnya hingga dia melunasinya,” (HR Tirmidzi). Juga hadits, “Siapa saja yang berutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri,” (HR Ibnu Majah).

Sebaiknya Ibu juga melakukan evaluasi. Pikirkan dengan tenang dan jernih, apakah talak 1 yang sudah terjadi itu murni karena kesalahan suami? Apakah suami memang tidak mau menafkahi atau dia belum memiliki uang? Mungkin Ibu perlu lebih bersabar karena hakikatnya tidak ada yang bisa memberikan rezeki kecuali Allah swt. “Hai manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepada kamu dari langit dan bumi?”(QS Fathir: 3).

Setiap manusia pasti diuji, salah satunya berupa pasangan hidup. Jika Ibu sudah berusaha menjadi istri shalihah dan sabar menjalani ujian ini, insya Allah masalah ini akan meninggikan derajat Ibu di hadapan-Nya.Wallahu’alam.


Jawaban Psikologi


Ibu Wanda, saya prihatin dengan masalah yang Ibu hadapi. Saat ini sebaiknya Ibu berkomunikasi dengan suami secara baik agar dapat membicarakan banyak hal. Hal ini terkait dengan jiwa anak yang sering menyaksikan pertengkaran orangtua. Anak-anak yang sering mengalami konflik orangtua akan membentuk persepsi  yang salah tentang peran orangtua dan perkawinan. Cobalah untuk mengendalikan emosi dan saling mengingatkan suami untuk lebih sabar.

Masalah talak dan gugat cerai dapat dipertimbangkan lagi. Mungkin suami akan berubah dan mau lebih serius memperbaiki caranya dalam mencari nafkah. Ibu boleh tetap menyampaikan ke suami untuk membayar utangnya. Ibu diharapkan lebih kuat menghadapi tekanan dan  berusaha lebih luwes dalam menghadapi permasalahan. Jika kebutuhan mendesak dan Ibu memiliki kemampuan dan keterampilan, silakan bekerja tanpa meninggalkan kewajiban mendidik anak. Ibu dapat bekerja paruh waktu atau bekerja di rumah. Dengan demikian Ibu dapat memenuhi kebutuhan dan mendidik anak dengan baik.


Jawaban Hukum

Menurut UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, perceraian hanya dapat dilakukan dan sah menurut hukum apabila dilakukan di hadapan sidang Pengadilan Agama. Oleh karenanya secara hukum, perkawinan antara suami dengan Ibu belum berakhir karena perceraian, meskipun telah diucapkan talak 1 secara lisan.

Untuk itu, apabila suami atau Ibu menghendaki terjadinya perceraian, maka salah satu pihak (suami/istri) harus mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama di kabupaten/kota tempat Ibu tinggal. Dalam mengajukan permohonan talak (oleh suami) atau gugatan perceraian (oleh istri) harus dilandaskan pada alasan-alasan yang dapat diperkenankan oleh hukum, yaitu sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, di antaranya suami/istri:

a)      Melakukan zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b)      Meninggalkan pasangan selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin dan alasan yang sah.

c)      Mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

d)      Melakukan kekejaman atau penganiayaan berat.

e)      Mendapat cacat badan atau penyakit sehingga tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.

f)       Terus menerus berselisih dan bertengkar dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

g)      Suami melanggar taklik talak.

h)      Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.



Silakan Ibu cermati aturan tersebut dan pikirkan dengan saksama keinginan untuk bercerai. Meski perceraian diperbolehkan, namun pasti membawa efek, khususnya bagi anak. Semoga Allah mudahkan Ibu melalui ujian ini.

Sumber: Majalah Ummi, Rubrik Ya Ummi 06-XXVIII Juni 2016
Kabarkabari.id

No comments